Tentang Novel Cinta Berakhir di Langit Doa

4 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Novel Cinta Berakhir di Langit Doa
Iklan

Jika ada satu kalimat yang bisa merangkum isi novel ini, mungkin kalimat itu “Cinta bisa berakhir, tetapi doa tidak pernah selesai.”

Menulis bagi saya selalu menjadi perjalanan batin. Setiap kata yang saya susun adalah cara saya berdialog dengan diri sendiri. Buku kedua saya, Cinta Berakhir di Langit Doa (Guepedia, 2024), lahir dari pergulatan perasaan yang lama saya simpan. Jika buku pertama saya, TentangMu dan Rin(Du)Ku, lebih banyak berisi senandika, maka karya kedua ini saya pilih dalam bentuk novel, dengan tokoh, konflik, dan akhir yang pahit.

Novel ini bercerita tentang Yuda, pemuda sederhana lulusan UIN Suska Riau, dan Nabila, gadis lulusan pesantren ternama di Pulau Jawa dan berasal dari keluarga berada. Pertemuan awal mereka terjadi di Masjid Raya An-Nur Pekanbaru. Dari tatapan singkat di tengah kajian tanpa percakapan, kisah panjang itu dimulai. Hubungan mereka tumbuh perlahan melalui sahabat, obrolan ringan, hingga jalan pagi bersama. Namun restu keluarga tidak pernah datang. Kafaah kesetaraan dalam pernikahan menjadi tembok besar yang sulit ditembus. Pada akhirnya, Yuda dan Nabila harus berpisah meski saling mencintai.

Saya sengaja menghadirkan latar yang akrab, Masjid, CFD Pekanbaru, Perpustakaan Soeman HS, Taman Kaca Mayang, warung teh telur, hingga kampus UIN Suska Riau. Semua tempat itu dekat dengan kehidupan saya sendiri. Saya ingin pembaca merasakan bahwa kisah ini bukan sekadar fiksi, melainkan potongan kehidupan nyata yang sering terjadi di sekitar kita.

Bagi saya, kekuatan novel ini justru ada pada keberaniannya untuk tidak memberi akhir bahagia. Saya ingin menghadirkan wajah lain dari cinta. Bukan sekadar manis, tetapi juga pahit, bahkan getir. Karena kenyataan memang tidak selalu berpihak pada perasaan. Ada cinta yang harus dilepas bukan karena hilang, tetapi karena ada restu keluarga yang tak datang. Ada doa yang dipanjatkan setiap malam, tetapi jawabannya justru menguatkan hati untuk menerima perpisahan.

Saya sadar, novel ini tidak sempurna. Beberapa dialog mungkin terlalu panjang, narasi kadang terlalu gamblang dalam menjelaskan perasaan tokoh, dan alur di bagian tengah bisa lebih dipadatkan. Tetapi dari kelemahan itu saya belajar banyak. Menulis bukan soal sekali jadi, melainkan proses terus-menerus memperbaiki diri.

Ada beberapa kalimat yang saya tulis dengan hati penuh rasa, dan hingga kini masih membekas. Misalnya ketika saya memulai cerita ini pada bagian Yuda yang menutup sidang skripsinya dengan berdiri didepan gedung rektorat sembari mengucapkan kalimat “Jika dulu aku memulainya denganMu, kini aku mengakhirinya sendiri.” Kalimat sederhana ini saya tulis dengan mengingat masa lalu saya sendiri yang saya kutip dari buku pertama saya, bagaimana sesuatu yang dimulai bersama-sama akhirnya tetap berakhir sendirian. Atau ketika Yuda dan Nabila beradu tatap di masjid: “Mata Yuda dan Nabila bertaut sesaat cukup untuk membuat waktu terasa berhenti.” Dari sebuah tatapan singkat, jalan panjang bisa dimulai.

Novel ini lahir dari pertanyaan sederhana yang terus mengganggu: “Kenapa banyak cinta tulus akhirnya gagal hanya karena restu?” Dari pertanyaan itu, saya mulai menulis sejak akhir tahun 2023. Sebagian besar naskah saya tulis di malam hari, di sela aktivitas yang panjang. Ada saat saya menulis lancar, ada juga ketika macet berhari-hari. Justru di saat macet itu saya banyak merenung. Apakah kisah ini harus saya beri akhir bahagia atau pahit? Pada akhirnya saya memilih pahit, karena saya ingin cerita ini jujur.

Pesan utama yang ingin saya tinggalkan kepada pembaca adalah bahwa cinta tidak selalu berarti memiliki. Kadang cinta justru berakhir pada keikhlasan, dan doa menjadi satu-satunya bentuk cinta yang tersisa. Novel ini memang saya akhiri dengan pahit, tetapi di balik pahit itu ada makna yang lebih dalam. Bahwa cinta sejati tidak pernah mati, ia hanya berganti rupa.

Beberapa adegan saya ambil dari pengalaman nyata, meski kemudian saya olah kembali menjadi fiksi untuk pengembangan cerita. Misalnya suasana Masjid Raya An-Nur, obrolan ringan dengan sahabat, atau jalan pagi di CFD. Detail-detail itu saya masukkan agar pembaca merasakan nuansa yang dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Menjelang akhir 2024, naskah akhirnya selesai dan diterbitkan. Saat buku ini ada di tangan, saya merasakan campuran rasa lega, syukur, sekaligus cemas. Lega karena perjuangan menulis terbayar, cemas karena saya sadar karya ini masih jauh dari sempurna.

Bagi saya pribadi, Cinta Berakhir di Langit Doa bukan hanya kisah tentang Yuda dan Nabila. Ia adalah cermin diri saya sendiri, perjalanan memahami cinta, doa, restu, dan keikhlasan. Jika Anda pernah mencintai dengan tulus tetapi harus melepaskan, saya berharap kisah ini bisa menemani. Bukan untuk menambah luka, tetapi untuk menguatkan. Karena pada akhirnya, ada cinta yang memang tidak ditakdirkan untuk dimiliki, melainkan hanya untuk dipanjatkan.

Jika ada satu kalimat yang bisa merangkum isi novel ini, mungkin kalimat itu “Cinta bisa berakhir, tetapi doa tidak pernah selesai.”

Identitas Buku :

  • Judul: Cinta Berakhir di Langit Doa
  • Penulis: Wahyu Kurniawan
  • Penerbit: Guepedia, 2024
  • Jumlah Bab: 24 bab + prolog dan epilog
  • Genre: Fiksi, Roman Religius

Buku Ini Tersedia di :

  • Website Guepedia.com
  • Shopee Guepedia
  • Tiktok Shop
  • Lazada
  • Tokopedia

Sinopsis

Bagikan Artikel Ini
img-content
Wahyu Kurniawan

Penulis Indonesiana

2 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler